Mewarnai Mimpi

Hanya mimpi yang berwarnalah yang akan menjadi nyata

Mimpi itu telah lama tertimbun oleh lapisan debu. Entah sejak kapan mimpi itu muncul, aku sudah lupa. Seiring dengan berlalunya waktu, debu yang menutupinya semakin tebal, tapi aku enggan menguburnya. Sesekali aku bersihkan, tapi tak sampai benar-benar bersih. Aku takut bila sudah bersih, keindahannya membuatku terbuai. Tapi aku juga tidak rela mencampakkannya. Sesekali ingin rasanya membuat mimpi itu bersih tanpa debu kemudian mewarnainya, tapi ketakutanku membuat kakiku enggan melangkah.

Terakhir kali dorongan yang cukup kuat muncul sebulan lalu. Ternyata dorongan itu bukan dariku, tapi dari orang lain yang entah sengaja atau tidak menusuk rasa takutku dan membuatnya terburai. Sebenarnya  sasaran belati itu adalah hatiku. Untung saja meleset, dan hanya menorehkan goresan kecil meski terasa amat pedih.

Aku melangkah, perlahan menggapai mimpi yang berdebu itu. Dengan sedikit gemetar aku coba membersihkannya. Sedikit demi sedikit debu yang menutupi mulai hilang. Berdebar hatiku melihat debu-debu terbang menjauh. Belum tuntas membersihkan debu-debu penutup mimpi ini, rasa takutku mencul kembali, tumbuh, dan mencoba menguasai kembali. Benar kata orang, penyakit takut itu bagaikan kanker, sedikit saja ada peluang akarnya yang bertahun menghujam akan tumbuh dengan subur.

“Mumpung masih belum menguasai aku akan melawan!” ujarku saat menyemangati diri. Bayangkan saja seperti apa rasanya berperang melawan rasa takutku sendiri. Jauh lebih sakit dari pada goresan belati di hatiku tadi. Tapi sukurlah, Seiring dengan menghilangnya seluruh debu yang menutup mimpiku, rasa takutku mulai menghilang. Aku menang.

Kini aku sadar apa yang aku mimpikan, tapi warnanya masih hitam putih, dan tugaskulah mewarnainya. Berbagai warna aku goreskan agar mimpi itu menjadi jelas dan nyata. Karena hanya mimpi yang berwarnalah yang akan menjadi kenyataan. Goresan-goresan pertama dilalui dengan indah dan menyenangkan.

Ah, tapi tak sampai sepuluh goresan terlewati, godaan lain muncul. Ada tawaran untuk mewarnai mimpi orang lain. Mimpi yang sekilas tampak jauh lebih indah dari mimpiku, atau memang benar-benar lebih indah. Mimpi yang ditawarkan adalah mimpi yang penuh dengan gedung-gedung tinggi dan orang-orang berdasi. Sangat indah memang. Tapi sayang, bila aku mulai mewarnai mimpi orang, mimpiku sendiri bakal kembali diselimuti debu. Debu yang dengan pasti kian hari kian tebal. Kian hari memupuk rasa takutku pula, dan tidak butuh waktu yang lama untuk kembali menguasaiku.

Oh, andai saja aku bisa mewarnai mimpiku dan mimpinya…

Cemburu Itu Menusukku

Kini cemburu itu datang kembali. cemburu akan orang-orang yang tak pernah berpikir panjang untuk berbuat sesuatu yang ia yakini kebenarannya.cemburu kepada setiap manusia yang tak pernah peduli akan cibiran orang-orang  disekitarnya. tidak peduli meski dunia tidak bersahabat. yakin akan idealismenya mesti kadang itu salah.

aku cemburu. cemburu terhadap orang-orang yang tidak takut berbuat salah dan tak pula malu mengakuinya. dan dengan lapang dada mencoba sekuat tenaga untuk memperbaiki setiap kesalahan yang pernah ia buat.

cemburu itu terus menghantuiku. cemburu akan orang yang terus saja berkarya, meski tak satupun yang menghargainya. yang selalu ada waktu untuk mengimplementasikan ide-idenya yang bakal jadi “sampah”.

aku cemburu karena tak satupun karya yang kuhasilkan hingga saat ini. setiap akan kumulai, kepalaku berteriak: “metodenya tidak bagus, akan menjadi karya yang buruk bila tidak didesain dengan tepat sejak awal”.

aku cemburu karena hanya bisa menjelekkan karya orang lain. dan aku… tak satupun yang ku hasilkan. banyak waktu yang tersedia tapi selalu bilang “nanti saja ku mulai, itu kan mudah”.

Thank to Pak “Roy Winata” (roy at ptgdi dot com)  atas gdi+ chapter One yang menginspirasi.